Oleh Budi: Setia Pribadi
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Siliwangi
Sastra merupakan pengekspresian jiwa manusia melalui bahasa yang menyimpan banyak makna yang terkandung di dalamnya, biasanya makna-makna itu lahir dari konflik atau pengalaman batin penulis.
Selain itu sastra bisa dijadikan sebagai sarana untuk meluapkan perasaan seseorang dan sebagai upaya seseorang menterapi kesehatan mentalnya melalui rangkaian kalimat yang mendelegasikan suasana hati penulisnya.
Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana fungsi sastra untuk menterapi jiwa seseorang yang sedang mengalami kesedihan atau kebahagian.
Terapi ini sangat efektif, karena dalam sastra kita bisa bercerita dan berbagi rasa dengan banyak orang tanpa ada rasa takut rahasia kita diketahui banyak orang. Selain itu fungsi sastra adalah sebagai sarana rekreatif, artinya ketika kita menciptakan atau membaca karya sastra akan ada perasaan puas, senang dan bahagia. Karena kita dapat berimajinasi sesuai dengan keinginan kita.
Pembelajaran sastra di sekolah telah mengalami pergeseran, artinya saat ini pembelajaran sastra tidak begitu banyak dan hanya terpaku pada puisi, cerpen dan hikayat, itupun pembahasan materinya tidak begitu dalam, sehingga hal ini berpengaruh terhadap kecintaan peserta didik terhadap sastra Indonesia.
Tak banyak dari mereka yang memahami jenis-jenis puisi atau sekadar perbedaan puisi lama dan puisi baru, yang lebih mirisnya lagi kebanyakan dari mereka tidak tertarik dengan pembelajaran sastra karena menganggap sastra sesuatu yang tidak penting dalam hidup, padahal sastra bisa dijadikan sebagai media untuk meningkatkan kreativitas berbahasa oleh mereka.
Menurut Hari Sunaryo (2011:157) Dalam sistem kurikulum pendidikan Indonesia, pendidikan sastra di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK masuk dalam cakupan mata pelajaran bahasa Indonesia. Materi bidang sastra ditampilkan secara terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis).
Oleh karena itu, dalam beberapa hal, kenyataan mengenai pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini dapat disebutkan misalnya mengenai guru pengampu, alokasi waktu, dan sistem evaluasi yang dilakukan.
Pembelajaran sastra juga dianggap sulit oleh beberapa siswa karena kendala mereka ketika menciptakan sebuah karya sastra tidak pandai berimajinasi dan kesulitan menuangkan yang ada dalam pikirannya melalui kata-kata.
Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena dikhawatirkan akan menghambat perkembangan sastra Indonesia di era modern serta dapat mengakibatkan punahnya sastra Indonesia. Padahal pembelajaran sastra di sekolah menurut Muhamad Syarifudin dan Nursalim (Nugraha. 2021:41) sastra dapat berfungsi sebagai alat pengajaran atau transfer nilai-nilai di dalam masyarakat, menumbuhkan kemampuan apresiasi budaya, menciptakan kepekaan sosial, dan menghaluskan budi peserta didik.
Titik berat pembelajaran sastra sebagai cara untuk membentuk kepribadian peserta didik ini kian diperkuat dengan gaung implementasi pendidikan karakter beberapa waktu yang lalu.
Menurut Maman Suryaman (Nugraha. 2021:41) Titik berat manfaat sekaligus tujuan dari pembelajaran sastra adalah pengenalan nilai-nilai sosial budaya dan pembentukan karakter peserta didik yang memiliki watak yang berbudi luhur dalam menghadapi persaingan abad ke-21.
Semua ini dapat diduga mempunyai keterkaitan dengan paradigma pembelajaran sastra yang bersandar pada bahasan lama mengenai asal kata susastra yang berarti indah dan (hanya) berguna (dalam rangka pengajaran nilai-nilai tertentu). Oleh sebab itu perlu adanya upaya yang harus dilakukan oleh guru dan pemerintah untuk melestarikan sastra Indonesia yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.
Untuk menumbuhkan kembali kecintaan peserta didik terhadap sastra Indonesia, seorang guru yang mengajar bahasa Indonesia harus mengemas pembelajaran sastra dengan baik, inovatif, kreatif, dan menarik agar kecintaan terhadap karya sastra bisa mulai tumbuh dan berkembang di anak-anak.
Selain itu seorang guru harus bisa menyesuaikan pembelajaran sastra dengan perkembangan zaman agar karya-karya sastra yang lahir dari peserta didik sesuai dengan segmentasi mereka, dengan demikian sastra era baru lahir dengan ciri khas yang ditonjolkan masing-masing dari mereka.
Pembelajaran sastra di sekolah perlu adanya pengembangan yang lebih inovatif dan interaktif agar pembelajaran sastra bisa optimal ditengah keterbatasan bahasan materi. Selain itu juga guru dituntut untuk memahami sastra lebih dalam, terutama sastra lama agar bisa mengenalkan sastra lama kepada peserta didik sehingga peserta didik mengenal kembali kekayaan khasanah sastra Indonesia.
Diskusi tentang ini post