Di tengah derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi, kemampuan literasi mahasiswa menjadi salah satu kunci penting dalam menentukan kualitas pendidikan tinggi.
Literasi yang dimaksud di sini bukan sekadar bisa membaca dan menulis, tetapi mencakup pemahaman mendalam, kemampuan berpikir kritis, menyampaikan gagasan secara tertulis, serta memahami dan memproduksi informasi digital secara bijak.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak mahasiswa kita masih berjuang dalam hal ini. Tidak sedikit yang kesulitan menyusun tulisan akademik yang runtut, memahami bacaan ilmiah, apalagi memanfaatkan teknologi secara maksimal untuk kegiatan literasi mereka.
Dalam penelitian saya yang sedang berlangsung di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, saya melihat bahwa integrasi membaca dan menulis berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat menjadi solusi yang menjanjikan.
Dengan memadukan aktivitas membaca dan menulis dalam satu rangkaian pembelajaran, mahasiswa jadi lebih terlibat aktif, berpikir kritis, dan termotivasi untuk mengekspresikan ide-ide mereka.
Salah satu bentuk sederhana dari integrasi ini misalnya dengan meminta mahasiswa membaca artikel dari jurnal internasional secara digital, lalu menulis refleksi atau analisis mereka melalui platform seperti Google Docs atau blog pribadi.
Hasilnya cukup menggembirakan—mereka tidak hanya memahami isi bacaan dengan lebih baik, tetapi juga belajar menyusun argumen dan memperkuat kemampuan menulis akademik mereka.
Fenomena ini sejalan dengan temuan berbagai penelitian internasional. Linda Darling-Hammond menekankan bahwa pembelajaran guru yang efektif di abad 21 harus berbasis konten, aktif, kolaboratif, dan memanfaatkan teknologi.
Begitu pula dengan Richard Kiely yang menyebutkan bahwa program pendidikan bahasa harus melibatkan evaluasi berbasis dialog dan refleksi, bukan hanya tes akhir.
Negara seperti Finlandia bahkan telah sejak lama menanamkan budaya literasi melalui pendekatan pendidikan yang menyeluruh. Dalam tulisannya, Niemi dan Lavonen menjelaskan bahwa keberhasilan pendidikan di Finlandia banyak ditopang oleh sistem pelatihan guru yang kuat dan dukungan kebijakan terhadap pendidikan berbasis kesetaraan dan kualitas.
Indonesia tentu memiliki tantangan tersendiri. Akses internet belum merata, kemampuan dosen dalam memanfaatkan teknologi belum sepenuhnya optimal, dan kurikulum yang ada belum sepenuhnya mendukung penguatan literasi berbasis digital. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memulai.
Perguruan tinggi bisa mulai dari hal-hal kecil: memberikan ruang lebih banyak untuk tugas reflektif dan tulisan analitis, mengenalkan platform digital untuk menulis dan berdiskusi, serta membimbing mahasiswa mengakses dan memahami bacaan akademik yang berkualitas.
Di sisi lain, dosen juga perlu terus belajar—tidak hanya tentang literasi digital, tetapi juga bagaimana membimbing mahasiswa agar bisa membaca dengan kritis dan menulis dengan sadar tujuan.
Literasi adalah bekal hidup yang tak tergantikan, apalagi di zaman sekarang yang menuntut kecepatan dan kecermatan dalam memproses informasi. Meningkatkan literasi mahasiswa bukan hanya tugas guru atau dosen, tapi tanggung jawab bersama—antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan kita semua yang peduli terhadap masa depan generasi muda.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi?. ***
Biodata Penulis:
Ratih Inayah, S.Pd., M.Pd. adalah mahasiswa doktoral pada Program Studi Ilmu Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Semarang, Semarang, Jawa Tengah.
Saat ini, ia juga merupakan dosen tetap di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, IKIP Siliwangi, Cimahi, Jawa Barat.
Diskusi tentang ini post